26 November 2006

Abate : Amankah Untuk Tubuh?

Minggu, 26 Nov 06. Salah satu materi kampanye pemberantasan demam berdarah adalah penaburan bubuk abate ke tempat-tempat penampungan air minum. Amankah tindakan ini?

Abate adalah nama dagang dari temephos, yaitu insektisida golongan organofosfat yang digunakan untuk memberantas jentik nyamuk. Penggunaannya pada tempat penampungan air minum telah dinyatakan aman oleh WHO dan DepKes RI.

Beberapa alasan mengapa abate dianggap aman bagi tubuh antara lain :

Pada percobaan, seekor tikus jantan baru akan mati jika mengkonsumsi abate sebanyak 8, 6 gr abate / kg berat badan tubuhnya. Pada manusia yang mempunyai berat badan 10 kg (orang dewasa rata-rata 50 kg) mungkin baru akan meninggal jika mengkonsumsi 86 gr abate.

Dosis abate yang dibutuhkan untuk membunuh jentik nyamuk dalam air minum adalah 10 gr untuk 100 liter air. Untuk mencapai kadar 86 gr abate, dibutuhkan 860 liter air.

Jadi, seorang manusia berberat badan 10 kg (balita) baru akan meninggal jika mengkonsumsi sebanyak 860 liter air mengandung abate dengan dosis sesuai aturan pakai.

Dan untungnya lagi, tidak seperti DDT (dikloro difenil tetrakloroetana), abate tidak terakumulasi di dalam tubuh.

Sebenarnya, setelah ditaburkan, bubuk abate akan segera menempel di dinding penampung air, sehingga kadarnya di dalam air minum lebih rendah dibanding di dinding penampung air. Daya tempelnya mampu bertahan 2 sampai 3 bulan.

Abate sebaiknya hanya diaplikasikan pada wadah penampungan air yang sulit dan jarang dikuras. Pada penampungan air yang bisa dikuras sekali seminggu, tidak perlu diberi abate, karena jentik nyamuk juga keburu tewas saat pengurasan (perkembangan dari telur sampai nyamuk dewasa butuh waktu sekitar 9 hari).

19 November 2006

Polio : Mekanisme Kelumpuhan

Minggu, 19 Nov 06. Kelumpuhan akibat polio merupakan mimpi buruk bagi penderitanya. Aktifitas tidak dapat lagi dijalani layaknya orang normal. Bahkan, pada beberapa kasus, penderita harus mendapat pertolongan dari orang sekelilingnya untuk menjalani rutinitas sehari-hari.

Mungkin ada yang ingin tahu, bagaimana serombongan virus polio sanggup melumpuhkan seorang anak manusia. Berikut kami coba paparkan.

Virus polio yang tertelan akan menginfeksi sel-sel di dinding usus. Di sini, virus memperbanyak diri (bereplikasi). Kemudian virus-virus tersebut masuk ke dalam peredaran darah. Virus akan terus terbawa aliran darah sampai suatu saat tiba di sumsum tulang belakang. Sumsum tulang belakang adalah ‘terminal antara’ perjalanan serabut saraf sensorik (serabut yang menerima rangsang dari kulit, mata, dsb, kemudian meneruskannya ke otak) dan serabut saraf motorik (yang membawa perintah dari otak ke organ efektor seperti otot). Bertindak sebagai ‘terminal akhir’ adalah otak.

Entah atas alasan apa, virus polio lebih suka singgah di sumsum tulang belakang wilayah motorik. Ironisnya, virus polio tidak sekedar singgah, tapi juga merusak sel-sel saraf motorik di daerah tersebut. Akibatnya perintah (motorik) dari otak tidak dapat sampai ke organ pelaksana (efektor) yaitu otot atau target organ lainnya seperti diafragma, dll. Keadaan ini menyebabkan lumpuh layu pada daerah yang dipersarafi oleh saraf motorik yang rusak tadi.

Karena saraf sensoris tidak diganggu, maka semua jenis rasa masih dapat dipindai oleh otak. Artinya, organ yang lumpuh, jika tergores masih terasa nyeri, jika tersiram air hangat masih terasa panas.

Pada anak yang telah memperoleh imunisasi polio, saat akan bereplikasi di sel dinding usus, virus polio dengan serta merta dikenali dan kemudian dibunuh beramai-ramai oleh sel pertahanan tubuh si anak.

12 November 2006

SIMPUS : Agar Layanan Puskesmas Lebih Optimal

Minggu, 12 Nov 06. Kita akan menghitung berapa kali para petugas puskesmas mencatat nama seorang pasien saat berobat. Pertama, ketika pasien mendaftar di loket pendaftaran. Kedua, ketika dokter mengisi rekam medis pasien. Ketiga, ketika dokter menulis resep untuk pasien. Keempat, ketika petugas apotik mencatat obat yang diberikan pada pasien. Kelima, ketika petugas melakukan rekap dari rekam medis ke buku rekapitulasi. Lima kali adalah angka minimal, karena bisa jadi masih ada proses administrasi yang mengharuskan pencatatan nama.

Selain nama, berbagai jenis data lain juga harus dicatat. Misalnya umur, jenis kelamin, alamat, riwayat penyakit, resep, dll. Alhasil, waktu pelayanan lebih banyak tersita dengan berbagai proses konvensional ini, sehingga jangan heran kalau pada puskesmas yang pasiennya ramai, banyak yang keringatan di ruang tunggu.

Di sisi lain, petugas puskesmas pun lumayan repot. Mencari rekam medik pasien ulangan kadang menjadi mimpi buruk. Seringkali, beberapa kali tumpukan rekam medik yang tersusun menurut abjad dibongkar, rekam medik pasien tak kunjung ditemukan. Di bagian lain, para petugas harus mencatat dengan teliti data-data pasien, termasuk data penyakit. Data tersebut dipelototin, di ringkas, dianalisis, dibuat laporannya lengkap dengan grafik. Setelah selesai, laporan mesti dikirim ke dinas kesehatan. Benar-benar merupakan rangkaian pekerjaan teknis yang membosankan dan melelahkan.

Sebenarnya keadaan ini tidak perlu terus terjadi, seandainya puskesmas sudah dikomputerisasi dengan Sistem Informasi Manajemen Puskesmas (SIMPUS). Alangkah ringkasnya jika pasien hanya perlu memberikan data dirinya satu kali saja, dan data itu terus terpakai sebanyak apapun kali dia berobat. Petugas pun hanya perlu menekan tombol keyboard dan memainkan mouse untuk mencari, melihat, dan mengolah data.

Yah, seandainya saja Departemen Kesehatan segera menginstruksikan penggunaan SIMPUS, seandainya petugas puskesmas sudah terlatih berhadapan dengan komputer, seandainya saja kesadaran ber-IT sudah merasuk ke seluruh jajaran departemen dan dinas kesehatan serta puskesmas, kita tak perlu lagi menyeka keringat terlalu lama di ruang tunggu.