24 Juli 2013

Tidak merokok adalah jati diri

Rokok merupakan salah satu topik yang tidak ada habisnya. Kenapa? Di satu sisi di larang, di lain sisi didukung. Yang melarang menggunakan dalih kemiskinan, kesehatan, dan lain-lain. Sedangkan yang mendukung menggunakan alasan pendapatan petani, pajak, dan seterusnya.



Kedua pihak ini terus berseteru, baik di level non formal maupun formal (jadi ingat korupsi ayat rokok).



Pada suatu riset tempo hari, saya sempat bertanya pada perokok, mengapa mereka merokok?



Seorang Bapak tua, umur sekitar 60 tahun, beralasan rokok dapat membuat pikiran tenang dan daya pikir bertambah. Tanpa rokok, bawaannya emosi melulu. Tapi dari keseluruhan bincang-bincang, saya curiga Bapak Tua tersebut tampaknya menggunakan rokok sebagai ‘obat penenang’ dari galaunya kehidupan ekonomi. Dia tinggal bersama istrinya di gubuk yang sangat reot, tanpa listrik, tanpa gas, dan tanpa penghasilan tetap.



Seorang Bapak paruh baya lain lagi. Dia malah mengkambinghitamkan produsen. “Koq, rokok terus diproduksi kalau memang merusak kesehatan. Mestinya kan di larang biar kita ga bisa beli. Karena dijual, ya kita beli”. Ada-ada aja.



Tapi ada yang lebih aneh lagi. Suatu ketika saya menegur teman secara halus dengan memperlihatkan peringatan kesehatan yang ada di bungkus rokok: PERINGATAN PEMERINTAH: MEROKOK DAPAT MENYEBABKAN KANKER, SERANGAN JANTUNG, IMPOTENSI, DAN GANGGUAN KEHAMILAN DAN JANIN. Dia spontan menjawab, itu kan kalo “merokok dapat”, kalo “merokok beli” tidak mengapa.



Dari tiga cerita di atas, tampaknya setiap orang mempunyai motif masing-masing untuk terus merokok. Kadang-kadang, motif tersebut terdengar begitu aneh dan nylenehnya.



Bagaimana bagi yang bukan perokok?



Saya termasuk salah satunya. Jika saya ditanya, mengapa tidak merokok, saya akan jawab: tidak merokok adalah jati diri. Bukan alasan kesehatan, bukan alasan ekonomi.