21 Desember 2005

Tonsilektomi

Tonsilektomi adalah tindakan untuk mengangkat tonsil. Prosedur telah dikenal sejak tahun 1000 SM oleh orang Indian. Setelah penggunaan antibiotik secara luas pada akhir abad 20, frekuensi pembedahan tonsil menjadi jauh berkurang.

Tonsilektomi dengan atau tanpa adenoidektomi (pengangkatan adenoid), kerap dilakukan untuk mengatasi infeksi tonsil dan faring berulang, sumbatan jalan napas bagian atas, serta infeksi telinga tengah yang kronis.

Beberapa penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa anak-anak pra sekolah yang mempunyai riwayat infeksi faring mendapat manfaat dari prosedur tonsilektomi. Tonsilektomi pada remaja biasanya dilakukan karena infeksi tonsil berulang, infeksi jaringan sekitar tonsil, dan abses tonsil. Sedang pada anak-anak paling sering dilakukan karena infeksi tonsil berulang dan pembesaran tonsil.

Tonsilektomi harus dilakukan jika pembesaran tonsil telah menyebabkan gangguan jantung – paru akibat sumbatan jalan napas, henti napas beberapa saat ketika tidur dan kesulitan menelan makanan yang berakibat turunnya berat badan penderita. Tonsilektomi juga dilakukan jika ada abses tonsil berulang atau abses yang sudah meluas ke jaringan sekitar tonsil.

Pada berbagai keadaan berikut, keputusan untuk melakukan tonsilektomi tergantung dari penilaian dokter terhadap keuntungan dan kerugian tindakan ini, berdasarkan riwayat penyakit dan keadaan pasien saat ini.

Keadaan-keadaan tersebut antara lain : infeksi tonsil berulang walaupun sudah mendapat penanganan medis yang baik, infeksi tonsil yang diketahui melalui biakan disebabkan oleh kuman streptokokus, pembesaran tonsil yang menyebabkan gangguan menelan ringan – sedang, riwayat demam rematik dengan kerusakan jantung yang dicurigai berhubungan dengan infeksi tonsil kronis berulang, pembesaran tonsil yang menyebabkan berubahnya bentuk mulut dan wajah serta susunan gigi geligi akibat penyempitan jalan napas.

Sebelum dilakukan tonsilektomi, dilakukan beberapa persiapan. Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik harus dilakukan secara teliti dan lengkap, terutama mengenai gangguan perdarahan. Juga dilakukan pemeriksaan darah dan urin, kadang-kadang diperlukan pemeriksaa foto rontgen dada dan pemeriksaan EKG.

Dokter sebaiknya memberi penjelasan kepada pasien mengenai prosedur pembedahan yang akan dilakukan, manfaat yang diharapkan dari pembedahan, nyeri yang mungkin timbul setelah pembedahan, serta rasa tidak enak pada tenggorokan 7 sampai 10 hari pasca pembedahan. Keluarga pasien juga diberi penjelasan mengenai diet, aktifitas, dan gejala-gejala yang mungkin terjadi setelah pembedahan, misalnya nyeri telingan dan perdarahan susulan yang mungkin timbul saat pasien sudah kembali kerumah.

Komplikasi tersering dari tonsilektomi adalah perdarahan, yang dapat terjadi segera atau beberapa hari setelah pembedahan. Perdarahan segera yang berlebihan dapat diatasi dengan elektrokauter atau pengikatan pembuluh darah (ligasi), yang memerlukan pembiusan ulang.

Untuk perdarahan susulan dapat dilakukan kauterisasi dengan AgNO3 atau penekanan pada lokasi perdarahan. Namun pada pasien yang tidak kooperatif atau mengalami perdarahan hebat, tindakan elektrokauter dan ligasi dengan pembiusan ulang kadang-kadang diperlukan.

Sebenarnya tonsilektomi merupakan pembedahan rawat jalan, namun pada beberapa keadaan, misalnya pasien merasa mual dan sulit untuk menelan makanan atau tinggal jauh dari fasilitas medis serta kekhawatiran timbulnya perdarahan susulun, pasien hendaknya menjalani rawat inap.